PT KAI Lakukan Uji Coba Pemberangkatan KA Barang Dari Stasiun JICT

12524230_1327039940644614_4300077985236720028_n

 

PT Kereta Api Indonesia (KAI) melaksanakan uji coba pemberangkatan kereta api (KA) barang angkutan petikemas dari Jakarta International Container Terminal (JICT) dengan tujuan akhir Cikarang Dry Port. KA angkutan petikemas ini menggunakan stamformasi 30 gerbong datar (GD) atau yang setara dengan 60 TEU. Pelaksanaan uji coba ini dihadiri dan disaksikan oleh sejumlah pejabat dan instansi penting seperti perwakilan dari Kemenko Kemaritiman, PT Kereta Api Logistik (KALOG), PT Kereta Api Property Management (KAPM), serta perwakilan dari kantor pelayanan utama Bea Cukai (KPU BC) Tanjung Priok.

Pada uji coba pemberangkatan kali ini, KA Barang tersebut mengangkut 34 TEUs petikemas impor dari pelabuhan Tanjung Priok yang terdiri dari 16 boks petikemas dengan ukuran 20 kaki dan 9 boks petikemas dengan ukuran 40 kaki. Semua pihak yang hadir pada kegiatan uji coba ini diberi kesempatan untuk meninjau kegiatan dari mulai proses pemuatan petikemas ke atas GD hingga pemberangkatan rangkaian di stasiun JICT.

Kegiatan uji coba ini masih akan dilaksanakan secara berkelanjutan hingga 12 April 2016. Hal ini dimaksudkan untuk mengevaluasi kelancaran operasional dan lain-lain sebelum pengoperasian perjalanan KA Barang dari stasiun JICT ini diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, dalam waktu dekat.

Sumber : https://www.kaorinusantara.or.id/newsline/49719/pt-kai-uji-coba-perjalanan-ka-barang-dari-stasiun-jict

JICT Kembali Beroperasi Normal

4894

 

Manajemen PT Jakarta International Container Terminal (JICT) memastikan kegiatan layanan operasional kembali normal mulai Senin (4/4) dini hari. Kegiatan bongkar muat shift 3 telah berjalan seperti biasa, sehingga layanan di terminal peti kemas terbesar di Indonesia ini dapat berjalan optimal.

“Kami terus bekerja untuk memulihkan layanan operasional yang sempat mengalami kendala. Mulai Senin, kegiatan operasional shift 3 di JICT sudah berjalan seperti biasa. Dengan dukungan seluruh karyawan JICT, kami akan terus bekerja untuk memberikan layanan terbaik, sesuai standar layanan yang telah diberikan JICT selama bertahun-tahun,” ujar Direktur Utama PT JICT Dani Rusli Utama kepada media, Senin (4/4).

Ia menjelaskan, manajemen JICT telah mencapai kesepakatan dengan Serikat Pekerja (SP) JICT untuk mengakhiri sejumlah perbedaan terkait kebijakan perusahaan. Dengan adanya pemahaman yang sama itu, kinerja JICT diharapkan akan terus meningkat guna mencapai standar produktivitas yang telah ditetapkan.

Sesuai keputusan Dirjen Hubla-Kemhub UM.002/38/18/DJPL-2011 tentang Standar Kinerja Layanan Operasional Pelabuhan, standar produktifitas JICT ditetapkan sebesar 26 box/crane per hour (BCH).

Menurut dia, JICT memiliki komitmen yang sama dengan otoritas pelabuhan dan pemerintah untuk selalu memberikan layanan optimal.Pihaknya terus berusaha menuntaskan semua hambatan, dan ia optimistis kondisi di JICT akan semakin membaik.

Sebagai terminal peti kemas terbesar, volume bongkar muat di JICT terus meningkat. Pada 1999, kapasitas terminal JICT baru sekitar 1,4 juta twenty equivalent units (TEUs). Lalu, pada 2014 melonjak hingga 2,35 juta TEUs. Saat ini, total kapasitas terminal JICT mencapai 2,6 jutra TEUs.

Ia menambahkan, untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas layanan JICT, selama periode 2008-2014 perusahaan telah menginvestasikan dana lebih dari US$ 180 juta. Dana tersebut di antaranya digunakan untuk membangun dan mengoperasikan JICT Auto Gate System (JAGS) sejak 2013. Saat ini pembangunan Joint Gate JICT – Koja dan proyek pengembangan untuk menambah kapasitas terminal sudah dalam tahap akhir dan segera beroperasi

“Melalui optimalisasi layanan di terminal JICT, kami berusaha untuk memangkas masa tunggu kapal (dwelling time) seperti target dari pemerintah. Efisiensi layanan di pelabuhan Tanjung Priok juga sejalan dengan tujuan JICT dalam mendukung efisiensi logistik di Indonesia,” ujar Dani.

Sumber : http://www.beritasatu.com/ekonomi/358293-jict-kembali-beroperasi-normal.html#

Siapa Dibalik Aksi Demo SP JICT?

Pekerja pelabuhan melintas di depan  mobil

 

Aksi penolakan perpanjangan kontrak pengelolaan terminal peti kemas JICT-KOJA oleh Serikat Pekerja (SP) JICT dinilai sejumlah pihak tidak independen.

SPJICT menggunakan isu nasionalisme hanya untuk menekan pemegang saham agar memenuhi kepentingan SPJICT terkait kesejahteraan mereka.

Pasalnya, sejak bulan Oktober 2014, Serikat Pekerja (SP) JICT ternyata sudah menyepakati rencana perpanjangan kontrak pengelolaan terminal petikemas JICT-KOJA antara PT Pelindo II dan Hutchison Port Holding (HPH).

Dalam sebuah dokumen yang disebut sebagai Resolusi Cikopo 7 Oktober 2014 tersebut, SP JICT akan mendukung dan mengawal proses perpanjangan konsesi JICT dengan syarat pemegang saham mengakomodir empat hal.

Pertama, adanya jaminan kerja dan pola karir yang jelas, dinamis dan adil kepada pekerja.

Kedua, adanya jaminan pengembangan SDM berupa pendidikan dan pelatihan kepada pekerja JICT setara dengan yang diberlakukan kepada pekerja IPC.

Ketiga, adanya jaminan investasi dan pengembangan usaha perusahaan. Dan Keempat adanya jaminan tidak berkurangnya kesejahteraan pekerja dan adanya perbaikan kesejahteraan jika terjain kenaikan pendapatan perusahaan.

Surat dukungan perpanjangan kontrak pengelolaan JICT oleh SPJICT tersebut ditandatangani oleh para pengurus seperti Nova Sofyan Hakim (Ketua Umum SPJICT), M. Besar Niko, Bayu Saptari, Herry Harijanto dan anggota pengurus SPJICT lainnya.

Tuntutan SPJICT tersebut sesungguhnya sudah dijalankan oleh pemegang saham, baik Pelindo II dan HPH.

Bahkan dari sekitar 800 pekerja di JICT, standar kesejahteraannya sangat tinggi, jauh diatas standar kesejahteraan yang diterima oleh pekerja pelabuhan lainnya.

Dalam aspek pendidikan misalnya, para pekerja JICT secara rutin terus mendapatkan pelatihan ke sejumlah port global yang berada dalam jaringan HPH.

Ratusan pekerja JICT pernah menimba ilmu pengelolaan pelabuhan, termasuk alih teknologi yang dimiliki dan diterapkan oleh HPH di jaringan pelabuhannya di seluruh dunia.

Ketua Umum Depalindo Toto Dirgantoro menilai bahwa sikap SPJICT sudah tidak obyektif dan tidak independen dalam menyikapi perpanjangan kontrak JICT.

Isu anti investor asing yang dibangun oleh SPJICT juga tidak sejalan dengan upaya pemerintah yang mendorong masuknya investor untuk membenahi infrastruktur maritim, khususnya sektor pelabuhan seperti di Tanjung Priok.

“Kita membutuhkan investor, termasuk asing untuk mengembangkan pelabuhan yang lebih efisien, sehingga dapat mendorong turunnya biaya logistik. Apa yang diterima investor asing seperti HPH sesungguhnya sangat kecil dibandingkan nilai tambah yang diberikan kepada perekonomian Indonesia, termasuk peningkatan kualitas SDM dan Teknologi yang kini dinikmati karyawan JICT,” tandasnya, Rabu (8/7/2015).

The National Maritime Institute (Namarin) menilai isu penolakan oleh SPJICT lebih pada kepentingan jangka pendek. Apalagi dari 4 tuntutan yang diminta dalam surat dukungan yang disusun oleh SPJICT pada 7 Oktober 2014, mayoritas berkaitan dengan urusan kesejahteraan karyawan.

“Semua tuntutan SPJICT dimensinya adalah uang dan kesejahteraan untuk mereka. Jadi tidak ada kaitannya dengan nasionalisme yang sekarang ini mereka hembuskan,” ujar Siswanto Rusdi, Direktur Namarin, Rabu (8/17).

Siswanto mengungkapkan, menurut informasi yang diterimanya, pendapatan dan fasilitas yang diterima oleh pekerja di JICT merupakan salah satu yang terbesar dan terbaik di pelabuhan.

Bahkan banyak dari pekerja dengan standar lulusan SMA yang menikmati gaji dan fasilitas setara manajer yang bekerja di wilayah segita emas Jakarta seperti Sudirman-Thamrin- Kuningan.

Siswanto bilang, publik jangan terjebak oleh manuver dan opini yang seolah-oleh membela kepentingan nasional, padahal sejatinya ini hanya menyangkut urusan perut.

“Sebagai bangsa kita harus fair dan tidak terjebak pada praktik-praktik ancam-mengancam yang hanya akan menjatuhkan iklim investasi dan situasi ekonomi nasional yang kini sedang terpuruk. Kalau memang ada investor yang mau investasi di Pelabuhan tidak usaha pakai cara-cara yang tidak fair, banyak kok pelabuhan yang bisa digarap, bukan hanya JICT yang sudah jadi,” tegas Siswanto.

Sumber : http://www.tribunnews.com/nasional/2015/07/08/siapa-dibalik-aksi-demo-sp-jict?page=3

Target Dwelling Time 3,7 Hari Terancam Gagal Jika SP JICT Terus Berulah

16

(Jakarta) – Digulirkannya Paket Kebijakan Ekonomi XI oleh Pemerintah baru-baru ini, bertujuan mendorong ekonomi berjalan lebih kencang. Paket kali ini meliputi pemangkasan dwelling time menjadi 3,7 hari. Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, Paket Kebijakan Ekonomi XI terdiri atas empat bagian, yaitu KURBE, Dana Investasi Real Estate (DIRE), pengendalian risiko untuk memperlancar arus barang di pelabuhan (Indonesia Single Risk Management – ISRM), serta pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan (Alkes).

Darmin menjelaskan, Paket XI mengatur pengendalian risiko untuk memperlancar arus barang di pelabuhan, yang bertujuan untuk mempercepat pelayanan kegiatan impor/ekspor agar dapat memberikan kepastian usaha, efisiensi waktu, dan biaya perizinan.

“Kebijakan ini bertujuan untuk menurunkan dwelling time (lama waktu inap di pelabuhan) melalui peningkatan efektivitas pengawasan melalui integrasi pengelolaan risiko di antara Kementerian/Lembaga (K/L) terkait,” kata Darmin di Kantor Kepresidenan di Jakarta, Selasa (29/3/2016), dikutip dari emaritim.com.

Darmin mengakui, penyelesaian customs clearance dan cargo release di pelabuhan masih terkendala perizinan ekspor impor oleh K/L yang terkadang bersifat transaksional dan memerlukan waktu lama. Selain itu, ada diskriminasi terhadap pengguna jasa yang sama di setiap K/L, sehingga menimbulkan ketidakpastian dan inefisiensi dalam kegiatan ekspor impor.

Posisi Indonesia dalam pemberian komitmen penerapan Trade Facilitation Agreement – World Trade Organization (TFA-WTO) pun masih rendah. “Capaian kinerja logistik belum optimal, waktu dwelling time saat ini tercatat rata-rata 4,7 hari pada akhir 2015,” kata Darmin.

Ulah SP JICT bisa rugikan negara

Ketika pemerintah telah berusaha maksimal menurunkan waktu Dwelling Time dari 4,7 jadi 3,7 hari tahun ini, hambatan besar justeru datang dari ulah Serikat Pekerja Jakarta International Container Terminal (SP JICT) yang terus berusaha merongrong perusahaan induknya yang telah memberi mereka gaji besar dan hidup layak dengan aneka cara, mulai dari mogok kerja hingga pencemaran nama baik, bahwa JICT telah melakukan intimidasi pada SP JICT dengan merusak mobil Innova milik anggota dan Ketua SP JICT.

“Gaji di sini grade terendahnya yakni Rp 11 Juta – Rp 15 Juta. Coba pikir, bodoh sekali gaji sudah besar masih juga mau mogok kerja,” kata Yasser Harafat, Salah seorang karyawan di JICT sebagaimana ditulis di sebuah media nasional (11/1/2016).

Padahal, secara hitungan saja jika terjadi rongrongan semacam ancaman tindakan mogok kerja, maka potensi kerugian negara lebih dari Rp 15 miliar per hari bila kegiatan bongkar muat di salah satu anak perusahaan Pelindo II atau IPC tersebut lumpuh, beruntung aksi demo yang dilakukan SP JICT urung dilakukan karena pihak JICT meluluskan tuntutan para pendemo tersebut.

Rencana mogok karyawan Jakarta International Container Terminal (JICT) Selasa (12/1/2016) dibatalkan setelah manajemen perusahaan terminal petikemas tersebut mengabulkan semua tuntutan pekerja Selasa dini hari. Ketua Umum Serikat Pekerja Jakarta Internasional Container Terminal (SP.JICT), Nova Hakim kepada media mengatakan, setelah terjadi ketegangan, Selasa dini hari manajemen JICT akhirnya mau mengabulkan tuntutan karyawan.

Menanggapi aksi dan ancaman mogok itu, Dosen Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Saut Gurning menilai ulah yang dilakukan oleh Serikat Pekerja PT Jakarta International Container Terminal (SP JICT), bisa mengganggu perekonomian nasional.

“Respon dan tuntutan demo oleh SP JICT saya pikir malah menimbulkan kondisi yang merugikan ekonomi nasional. Aspirasi dan tuntutannya saya kira sudah didengar dan dipahami. Tetapi kalau diluar tuntutan itu hingga aksi mogok nasional saya kira justru tidak konsisten dengan idealisasi mencegah kerugian negara,” terang Saut Gurning kepada Okezone.com di Jakarta, Rabu (07/10/2015).

Selain itu, kata dia, aksi demo dan ancaman mogok nasional memberikan image negatif bagi pelayanan perdagangan luar negeri Indonesia.

Untuk diketahui, jauh sebelum demo dan ancaman mogok itu dilakukan, tuntutan SPJICT tersebut sesungguhnya sudah dijalankan oleh pemegang saham, baik Pelindo II dan HPH. Bahkan dari sekitar 800 pekerja di JICT, standar kesejahteraannya sangat tinggi, jauh diatas standar kesejahteraan yang diterima oleh pekerja pelabuhan lainnya.

Dalam aspek pendidikan misalnya, para pekerja JICT secara rutin terus mendapatkan pelatihan ke sejumlah port global yang berada dalam jaringan HPH. Ratusan pekerja JICT pernah menimba ilmu pengelolaan pelabuhan, termasuk alih teknologi yang dimiliki dan diterapkan oleh HPH di jaringan pelabuhannya di seluruh dunia.

Sementara itu, The National Maritime Institute (Namarin) menilai isu penolakan oleh SPJICT lebih pada kepentingan jangka pendek. Apalagi dari 4 tuntutan yang diminta dalam surat dukungan yang disusun oleh SPJICT pada 7 Oktober 2014, mayoritas berkaitan dengan urusan kesejahteraan karyawan.

“Semua tuntutan SPJICT dimensinya adalah uang dan kesejahteraan untuk mereka. Jadi tidak ada kaitannya dengan nasionalisme yang sekarang ini mereka hembuskan,” ujar Siswanto Rusdi, Direktur Namarin.

Maka, menyikapi munculnya Paket Kebijakan Ekonomi XI yang berfokus pada persoalan Dwelling Time, selayaknya juga diwaspadai ulah SP JICT yang bisa menjadi potensi penghambat kebijakan itu dengan berbagai alasannya.

Pinter Cari Muka, SP JICT Ogah di Audit

AjgFQKzFVLHx2MZWc_wvUOcuyf1D3_9zS7Wg_YSN4wBx

Serikat Pekerja yang diketuai oleh Nova Hakim memang merupakan orang yang sangat pintar dalam mencari sensasi di masyarakat.

Belum lama ini ada berita yang mengatakan bahwa Serikat Pekerja (SP) JICT mendapatkan teror dari orang-orang yang tidak dikenal. Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa mereka tidak mengadu ke Polisi saja ? kenapa ngadunya ke DPR? Terus ada CCTV atau ngga didaerah yang menjadi teror tersebut, kalo ngga ada patut dicurigakan bisa aja itu semua hanya rekayasa untuk mendompleng dan mendapat perhatian dari masyarakat lagi.

Lagian yang bikin heran, kenapa Serikat Pekerja (SP) yang satu ini seneng banget ribut-ribut di media ya, mau cari perhatian publik gitu kalo kalian mendapatkan intimidasi? Haloooww yang mendapatkan intimidasi yang sebenarnya tuh para pekerja JICT bukan Serikat Perkerja JICT.

Bayangin aja banyak duit koperasi habis hanya untuk membiayai demo, bayar pengacara, wartawan dan LSM2 yang dibikin untuk menjatuhkan mantan dirut Pelindo 2 RJ Lino.

Duit pensiun karyawan JICT juga dihambur2kan. Pengurus SP sebagai penanggung jawab koperasi, selalu menolak untuk diaudit. Padahal duit miliaran rupiah itu adalah hak karyawan JICT yang di kelola oleh koperasi JICT.

Untuk diketahui, dana pensiun karyawan JICT ini setiap tahun diberikan oleh perusahaan. Pengelolaannya diserahkan kepada SP JICT yang kemudian dipercayakan kepada koperasi karyawan.

Sampai tahun lalu dana pensiun yang terkumpul sudah mencapai US$ 10 juta atau sekitar Rp 130 miliar. Sebetulnya sangat dimengerti bila manajemen JICT meminta audit independen atas dana PTI (Program Tabungan Investasi) ini mengingat jumlah dan pertanggungjawaban yang besar.

Kalau memang uangnya masih ada dan tidak digunakan untuk hal-hal yang berbau dengan politik seharusnya Ketua SP JICT ini tidak menolak dilakukannya Audit, kalo menolak audit berarti ada yang ga beres dong dalam pengelolaan keuangannya!

Sumber : http://www.kompasiana.com/sahabatjict/pinter-cari-muka-sp-jict-ogah-di-audit_56fb568db37a61ff052f2de0

PT JICT, perusahaan pemberi gaji tertinggi se-Indonesia?

Capture

 

PT Jakarta International Container Terminal (JICT), berdasarkan dokumen penggajian 2014, berani membayar gaji pegawai tingkat bawahnya atau junior staff sebesar Rp 33,74 juta per bulan. Angka ini menjadikannya sebagai perusahaan pemberi gaji tertinggi di Indonesia.

Selama ini, kebanyakan orang mengira pemberi upah tinggi di Indonesia adalah perusahaan tambang dan migas. Alasannya, selain perusahaan di sektor ini mampu meraup pendapatan sangat besar, pekerjaannya juga membutuhkan keahlian khusus dan memiliki risiko tinggi.

Setelah junior staff, tingkatan di atasnya ialah staff dengan besaran gaji Rp 37,84 juta per bulan. JICT pun tak tanggung-tanggung dalam memberikan upah di level di atas staff. Untuk tingkatan supervisor digaji sebesar Rp 60,12 juta, manager Rp 70,9 juta, dan senior manager Rp 92,69 juta setiap bulannya.

Sedangkan, koleganya, PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II masih kalah dari JICT. Saat masih menjabat sebagai Direktur Utama Pelindo II, R.J. Lino pernah membeberkan besaran pengupahan bulanan di perusahaan ini, yaitu staff Rp 6,9 juta, supervisor Rp 11,45 juta, dan manager Rp 14,5 juta.

“Di swasta tidak ada pakem, ini yang membuka ruang negosiasi. Karena butuh, perusahaan berani bayar mahal, dan itu saya kira sudah termasuk insentif,” ujar Pengamat Lembaga Manajemen Universitas Indonesia Budi Sutjipto kepada merdeka.com di Jakarta, Minggu (3/1).

Dia menegaskan gaji seharusnya ditentukan atas kinerja yang sudah dilakukan dan potensi risikonya. Alasannya, hanya dengan cara itu prinsip sistem penggajian yang mengedepankan keadilan dari sisi internal maupun eksternal perusahaan bisa terpenuhi.

“Kemampuan keuangan perusahaan juga menjadi kunci utama dalam mempertimbangkan menetapkan gaji tinggi para karyawannya,” kata Budi.

Data di situs qerja.com dan jobplanet.com menunjukkan perusahaan migas seperti PT Chevron Indonesia hanya mampu mengganjar staff biasa dengan gaji sebesar Rp 6 juta per bulan. Untuk level manager, Chevron mematok gajinya pada kisaran angka Rp 24 juta, dan Rp 25,63 juta bagi deputy general manager.

Perusahaan di luar sektor tambang dan migas juga mampu memberi gaji menggiurkan. Sebut saja PT Astra International, yang mampu memberikan gaji bulanan junior staff di angka Rp 5 juta, supervisor Rp 7,6 juta, assisten manager Rp 9,7 juta, dan manager Rp 15,6 juta per bulan.

Perusahaan consumer good terbesar di Indonesia, PT Unilever Indonesia juga tak kalah dalam menggaji karyawannya. Junior staff di perusahaan ini mendapat gaji Rp 4,7 juta, supervisor Rp 6,6 juta, manager Rp 14,9 juta, dan senior manager Rp 18,5 juta per bulan.

Di sektor perbankan, PT Bank Mandiri termasuk pemberi gaji besar. Bank pelat merah ini menggaji manager sebesar Rp 11,49 juta, senior manager Rp 19,84 juta, dan general manager Rp 38 juta per bulan.

Adapun PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) yang merupakan perusahaan pelat merah di bidang telekomunikasi, menggaji managernya sebesar Rp 14,7 juta, dan general manager Rp 20,5 juta setiap bulannya.

Sumber : http://www.merdeka.com/uang/pt-jict-perusahaan-pemberi-gaji-tertinggi-se-indonesia.html

Akal-akalan si Nova JICT Lagi..

ArAFxsw8Z2DhrLVa6xGJ3EXjSWkZEO6KH5W91RGY2RdG

Nova Hakim benar2 sutradara jempolan. Setelah “sukses” mengobrak-abrik JICT dan Pelindo II, ketua SP JICT ini kembali bikin ulah. Kali ini sangat kampungan, merusak mobil sendiri dan anak buahnya dengan menyuruh orang lain.

Seperti biasa, cerita pun bergulir. Nova, pekerja JICT dengan gaji lebih dari 40 juta sebulan dan bonus lebih dari 500 juta setahun ini mengadu ke patronnya di DPR, ibu Rieke Diah Pitaloka yang juga ngebet mau berkuasa di Pelabuhan Priok.
Berita pun bergulir. Ketua SP JICT kena teror karena berani mengungkap kebenaran di Priok….

Salah satu anggota SP yang tahu skenario ini berkisah, semua cerita Nova itu sampah. Perusakan mobil sendiri itu sudah didesain agar karyawan SP kembali bersimpati kepadanya. Nova berupaya agar isu JICT dan Pelindo II kembali bikin panas dan jadi perhatian. Karena itu kontrak dia dengan penyandang dana. Sebelum HPH hengkang dari Priok, Nova akan terus menjadi peniup peluit buat kepentingan si broker besar.

Sejak isu Pansus Pelindo II mencuat, sebenarnya banyak karyawan yang tidak bersimpati dengan Nova dan kelompoknya di pengurus SP JICT.

Banyak duit koperasi habis hanya untuk membiayai demo, bayar pengacara, wartawan dan LSM2 yang dibikin untuk menjatuhkan RJ Lino.

Duit pensiun karyawan JICT juga dihambur2kan. Pengurus SP sebagai penanggung jawab koperasi, selalu menolak untuk diaudit. Padahal duit miliaran rupiah itu adalah hak karyawan JICT yang di kelola oleh koperasi JICT.

Kemarahan karyawan semakin memuncak setelah Nova minta 15 pengurus SP di kembalikan ke jabatan2 empuk, bergelimang duit. Dengan segala tipu muslihatnya, Nova sukses menempatkan orang2nya di posisi basah dengan berbagai ancaman ke manajemen. Ulah Nova yang hanya mementingkan pengurus SP inilah yang bikin banyak karyawan mulai muak.

Apalagi belakangan mulai terungkap bila ulah SP JICT itu ternyata juga dibiayai sebuah konglomerasi yang ingin menguasai pelabuhan priok, setelah rencana pembangunan pelabuhan Cilamaya Batal.

Menurut salah satu karyawan senior ini, konglomerasi itu awalnya yakin Cilamaya bakal dibangun, makanya mereka menguasai ribuan hektar tanah di sekitar wilayah itu.

Tapi setelah pemerintah membatalkan rencana Cilamaya, mereka berusaha menguasai Priok. Itung2 untuk menutup kerugian triliunan rupiah gara2 Cilamaya batal di bangun.

Dengan dana besar, dukungan dari media milik konglomerasi itu, si Nova dan sebagian kecil pengurus SP JICT memainkan isu korupsi dan masalah konsesi dalam perpanjangan kontrak JICT.

Kepentingan ini klop dengan upaya geng PDIP untuk mendepak menteri BUMN Rini. Dengan menjatuhkan RJ Lino dan mempersoalkan perpanjangan Kontrak JICT, mencuatlah kasus ini menjadi isu panas yang berujung pada terbentuknya Pansus Pelindo II.

Pelindo II Incaran Politisi untuk Diperas

838574_10095128042015_rieke

 

Ketika Dahlan Iskan menjabat sebagai Menteri BUMN pada era SBY-Boediono, berhembus kabar ke publik bahwa Tanjung Priok menjadi “lahan kering”. Tanjung Priok yang merupakan dibawah PT Pelindo II tidak lagi menjadi lahan basah yang bisa diperas oleh orang-orang tertentu.  Hingga 21 pejabat Pelindo II pun mengundurkan diri pada tahun 2013.

Namun Tanjung Priok menjadi kering pun menuai kegaduhan dikalangan internal PT Pelindo II. Serikat pekerja PT Pelindo II menginginkan Direktur Utama PT Pelindo II RJ Lino diganti. Menteri BUMN saat itu tetap mempertahankan RJ Lino yang telah memperbaiki pelabuhan dan menambahkan kapasitas pelabuhan.

Pemerintahan pun berganti pada pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Kegaduhan tetap digulirkan agar Dirut PT Pelindo II diganti dan menjadikan Tanjung Priok dan pelabuhan lainnya di bawah Pelindo II menjadi lahan basah.

Kegaduhan Pelindo II hingga ke DPR RI hingga terbentuknya Pansus Pelindo II yang diketuai oleh Rieke Diah Pitaloka dari Fraksi PDIP. Pansus Pelindo II dibentuk tidak serta merta menyelesaikan masalah yang ada di Pelindo II melainkan juga sebagai kepentingan politik.

Pansus Pelindo II telah merupuskan 10 temuan, namun temuan-temuan tersebut bukan temuan yang kontruktif. Temuan No 1 yaitu, : Adanya ketidaksesuaian Hasil Pekerjaan Pengembangan Layanan Information and Communication Technology (ICT) dengan RKS atas pekerjaan dengan PT. Telkom. Merupakan permasalahan administratif antara dua perusahaan PT Pelindo II dan PT Telkom. Temuan Pansus Pelindo II merupakan ranah hukum bisnis. Bukan wilayah hukum Pidana. Namun Pansus Pelindo II membawa permasalahan ini ke hukum pidana.

Tidak aneh jika para politisi di Pansus Pelindo II ada target politik tertentu. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Lucius Karus mengatakan, pembentukan pansus dilatari oleh semangat kepentingan politik. “Jika mereka tiba-tiba galak di kasus Pelindo, kita pun jadi serba ragu, jangan-jangan bukan misi pembenahan Pelindo yang menjadi target Pansus. Jadi misi Pansus Pelindo pun pantas untuk diragukan,” ucapnya kepada wartawan 23 Oktober 2015.

Pelindo II yang menangani pelabuhan terbesar di Indonesia yaitu Tanjung Priok, Kalibaru (New Priok) dan kedepannya disatukan menjadi Port of Jakarta yang terdiri dari gabungan enam kawasan pelabuhan di Jakarta.  Pelindo II menjadi ladang yang sangat basah bagi partai-partai, menimbang Port of Jakarta akan menyaingi pelabuhan di Singapura. Saat ini singapura menjadi logistic center di berbagai negara dengan pemasukan 4 milyar Dolar US per tahun atau 52 Triliun Rupiah dengan kurs 13.000 Rupiah per Dolar US

Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah, Pangi Chaniago menilai, nuansa politis dalam Pansus Pelindo II semakin terlihat, seperti kepentingan PDIP mengambil alih “kekuasaan” di PT Pelindo II. PDIP memiliki kepentingan mengambil alih “lahan” di Pelindo II dengan strategi meminta Komjen Pol Budi Waseso melaksanakannya, setelah 10 tahun menjadi partai oposisi.

Pangi menduga, PDIP akan terus menekan dan memainkan segala macam strategi untuk mengambil alih PT. Pelindo II. Dia menilai Pansus Pelindo II DPR dipakai sebagai tambahan energi sebagai bantuan dukungan politik dari parlemen. “Ketua Pansus Pelindo adalah Rieke yang juga kader PDI Perjuangan, dan ujung kasus Pelindo II belum jelas,” katanya kepada wartawan pada 25 Oktober 2015.

Pangi menambahkan Pansus Pelindo II pun kemudian dipakai sebagai tambahan energi layaknya bantuan dukungan politik dari Parlemen. PT Pelindo II dincar oleh politisi sebagai sapi perahan yang dapat mendukung dana kampanye pada tahun 2019. “Wajar jadi rebutan karena empat tahun lagi mau pemilu, partai sudah mulai mengambil ancang-ancang bergerilya merampok BUMN untuk persiapan amunisi pemilu 2019,” terangnya.

Pansus Pelindo II akan “masuk angin” karena beberapa partai lain sudah tahu misi tidak baik dibalik pembentukan pansus tersebut. Keberadaan Pansus Pelindo II bisa bernasib sama dengan pansus yang sebelumnya dibentuk di DPR.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/emawul/pelindo-ii-incaran-politisi-untuk-diperas_562db8212bb0bd16110d54bb

Gaji Selangit, Kerjanya Hanya Demo dan Mogok Kerja

Capture

Siapa yang mau digaji 32 juta sebulan kerjanya hanya demo dan mogok kerja ?? ane kira banyak orang yang menginginkan posisi tersebut yaa 😀

Sekarang-sekarang ini ane perhatikan banyak banget pemberitaan tentang SP JICT yang mogok karena berbagai alesan, yang menurut ane alesannya tidak masuk akal.

Salah satu alasannya adalah menuntut Menteri Rini Soemarno untuk dilengserkan, nah loh logika aja nih ya gan “Rini itu kan menteri BUMN, nah Pelindo 2 merupakan perusahaan yang bernaung di BUMN mempunya anak perusahaan yaitu JICT, gimana caranya orang yang bekerja meminta “Bos”nya untuk dilengserkan??”  dunia politik ini memang lucu 😀

Setau ane gaji pegawai JICT itu melebihhi gaji menteri gan bahkan gaji JICT untuk taraf staff junior aja 32 juta bahkan maneger hampir 100 juta banyak banget ya gajinya gan, gaji bulan kemaren aja belum abiss eh udah mau gajian lagi aja fikir ane gitu gan. mereka juga mendapatkan banyak tunjangan loh gan seperti tunjangan keluarga, dan uang libur, uang sekolah, uang buku anak.

Ane nemu berita nih gan tentang PJS Supervisi Security JICT yang mengomentari bodohnya Aksi Mogok Kerja SP JICT

http://wartakota.tribunnews.com/2016/01/11/pro-kontra-buruh-jict-soal-aksi-mogok-kerja

ane kutip sedikit pernyataan Yasser Harafat mengatakan  “Saya gak ikut gabung, karena memang dari pemilu SP JICThingga saat ini, saya bukan anggota serikat. Mau berorganisasi atau tidak, itu terserah karyawan dong. Bahkan, gaji di sini grade terendahnya yakni Rp 11 Juta – Rp 15 Juta. Coba pikir, bodoh sekali gaji sudah besar masih juga mau mogok kerja,” katanya.

Dengan mogoknya SP JICT otomatis pekerjaan dipelabuhan akan terganggu, dan JICT pasti mengalami banyak kerugian gan.

Seharusnya mereka bersyukur dengan gaji yang sangat besar, serta memberikan imbalan yang seimbang dengan gaji yang mereka terima dengan bekerja yang jujur dan baik. Jangan malah rusuh sana sini, mogok kerja dan demo terus-terusan.

Buka-Bukaan Fakta Tak Diungkap Pansus Pelindo II

838574_10095128042015_rieke

 

Dalam surat yang dikirim Pelindo II kepada Pansus Pelindo II tanggal 11 Desember 2015, membuka fakta yang terkait degan perpanjangan kontrak angara Pelindo II dan Hutchison Port Holding (HPH) di PT Jakarta International Container Terminal (JICT).

Sejumlah fakta penting terkait perpanjangan kontrak kerjasama ini justru coba ditutup-tutupi oleh Pansus Pelindo II, yaitu :

Pertama, terkait hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyangkut perpanjangan kontrak di JICT. Dalam hasil auditnya nomor 48/AUDITAMA VII/PDTT/12/2015 yang diterima Pelindo II pada tanggal 1 Desember 2015, BPK tidak menyebut adanya kerugian negara dalam perpanjangan kontrak JICT.

BPK hanya meminta kepada Pelindo II untuk segera mengambil alih kontrol manajemen di PT JICT. Dan Permintaan BPK tersebut sejatinya sudah dijalankan oleh Pelindo II. Sejak 6 Juli 2015 kepemilikan saham Pelindo II telah berubah, dimana Pelindo menguasai 50,9% saham, HPH 49% saham dan Kopegmar 0,1% saham.

Perubahan kepemilikan saham itu dilakukan menyusul right issue yang dilakukan JICT, dimana Pelindo II menjadi mayoritas. Sejalan dengan perubahan kepemilikan saham, Pelindo II telah mengganti direksi dan komisaris di JICT pada 6 Juli lalu.

Kedua, soal pelanggaran UU No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran. BPK tidak mempermasalahkan implementasi Pasal 344 ayat (3) terkait konsesi dalam proses perpanjangan kerja sama pengelolaan JICT dan TPK Koja.

UU 17/2008 Pasal 344 ayat 3 hanya menunjuk Pasal 90 terkait lingkup Badan Usaha Pelabuhan, mengatur secara tegas bahwa pelabuhan yang telah diselenggarakan oleh badan usaha milik negara (BUMN) Kepelabuhanan tetap diselenggarakan oleh BUMN kepelabuhanan dimaksud.  Ketentuan ini memberikan pelimpahan secara langsung kepada Pelindo I, II, III, dan  IV dalam penyelenggaraan kegiatan pengusahaan pelabuhan.

Artinya, Undang-Undang Pelayaran khususnya Pasal 344 menyatakan bahwa Pelindo I, II,III dan IV mendapat perlakuan khusus berupa konsesi yang diberikan langsung oleh undang-undang (concession by law).

“Jika perpanjangan JICT dianggap tidak sah karena dilakukan sebelum mendapat konsesi, maka pengelolaan pelabuhan oleh Pelindo I, II, III, dan IV sejak 2011 sampai dengan November 2015 juga dapat dianggap ilegal,” kata Richard Joost Lino saat dihubungi wartawan Kamis (17/12).

Ketiga, Dalam perpanjangan kontrak JICT, tidak ada transaksi penjualan saham. Penjualan saham JICT telah berlangsung pada tahun 1999 saat Grosbeak, yang kemudian menjadi Hutchison Port Holding (HPH), membeli saham JICT melalui proses divestasi. Proses yang terjadi saat ini adalah penerbitan saham baru yang diserap oleh Pelindo II dan Kopegmar, sehingga terjadi dilusi terhadap porsi kepemilikan saham HPJ di JICT.

Pembayaran uang muka kontrak (upfront fee) sebesar USD 215 juta tidak bisa diartikan sebagai transaksi penjualan saham JICT. Karena ini sifatnya hanya perpanjangan kontrak kerjasama. Bahkan HPH berani membayar upfront fee dan menaikkan biaya sewa dari semula USD 40 juta menjadi USD 85 juta per tahun, empat tahun lebih cepat daripada kontrak yang berakhir di 2019.

Keempat, Perpanjangan kontrak JICT ini juga memberikan pendapatan berlipat kepada Pelindo II. Pada kontrak lama pendapatan tertinggi Pelindo dari JICT hanya USD 76 juta (2013). Dengan kontrak baru Pelindo II sudah mengantongi biaya sewa sebesar USD 85 juta per tahun, belum termasuk dividen. Pelindo juga akan mengelola terminal II JICT.

Kelima, dalam proses perpanjangan kontrak JICT, Pelindo II juga telah mengundang operator lain yaitu PSA, Maersk Line, Daewoo dan Chine Merchant. Namun dengan skema kerjasama yang ditawarkan, penawaran dari HPH merupakan yang tertinggi dan terbaik. Perjanjian perpanjangan kerjasama tanggal 5 Agustus 2014 baru berlaku efektif setelah mendapatkan persetujuan pemegang saham Pelindo II.

Keenam, perpanjangan kontrak JICT telah melalui proses yang panjang, melibatkan banyak pihak dan lembaga negara dan profesional bereputasi baik dan akuntabel. Contohnya, Pelindo II menginisiasi dibentuknya Oversights Committee (OC) yang khusus untuk mengawasi proses perpanjangan kontrak ini.

Anggotanya pun merupakan orang-orang berintegritas, anti korupsi dan nasionalis sejati seperti Erry Riyana Hardjapamekas (eks KPK), Faisal Basri (Dosen FEUI), Natalia Subagyo (Transparansi International).