(Jakarta) – Digulirkannya Paket Kebijakan Ekonomi XI oleh Pemerintah baru-baru ini, bertujuan mendorong ekonomi berjalan lebih kencang. Paket kali ini meliputi pemangkasan dwelling time menjadi 3,7 hari. Menko Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, Paket Kebijakan Ekonomi XI terdiri atas empat bagian, yaitu KURBE, Dana Investasi Real Estate (DIRE), pengendalian risiko untuk memperlancar arus barang di pelabuhan (Indonesia Single Risk Management – ISRM), serta pengembangan industri farmasi dan alat kesehatan (Alkes).
Darmin menjelaskan, Paket XI mengatur pengendalian risiko untuk memperlancar arus barang di pelabuhan, yang bertujuan untuk mempercepat pelayanan kegiatan impor/ekspor agar dapat memberikan kepastian usaha, efisiensi waktu, dan biaya perizinan.
“Kebijakan ini bertujuan untuk menurunkan dwelling time (lama waktu inap di pelabuhan) melalui peningkatan efektivitas pengawasan melalui integrasi pengelolaan risiko di antara Kementerian/Lembaga (K/L) terkait,” kata Darmin di Kantor Kepresidenan di Jakarta, Selasa (29/3/2016), dikutip dari emaritim.com.
Darmin mengakui, penyelesaian customs clearance dan cargo release di pelabuhan masih terkendala perizinan ekspor impor oleh K/L yang terkadang bersifat transaksional dan memerlukan waktu lama. Selain itu, ada diskriminasi terhadap pengguna jasa yang sama di setiap K/L, sehingga menimbulkan ketidakpastian dan inefisiensi dalam kegiatan ekspor impor.
Posisi Indonesia dalam pemberian komitmen penerapan Trade Facilitation Agreement – World Trade Organization (TFA-WTO) pun masih rendah. “Capaian kinerja logistik belum optimal, waktu dwelling time saat ini tercatat rata-rata 4,7 hari pada akhir 2015,” kata Darmin.
Ulah SP JICT bisa rugikan negara
Ketika pemerintah telah berusaha maksimal menurunkan waktu Dwelling Time dari 4,7 jadi 3,7 hari tahun ini, hambatan besar justeru datang dari ulah Serikat Pekerja Jakarta International Container Terminal (SP JICT) yang terus berusaha merongrong perusahaan induknya yang telah memberi mereka gaji besar dan hidup layak dengan aneka cara, mulai dari mogok kerja hingga pencemaran nama baik, bahwa JICT telah melakukan intimidasi pada SP JICT dengan merusak mobil Innova milik anggota dan Ketua SP JICT.
“Gaji di sini grade terendahnya yakni Rp 11 Juta – Rp 15 Juta. Coba pikir, bodoh sekali gaji sudah besar masih juga mau mogok kerja,” kata Yasser Harafat, Salah seorang karyawan di JICT sebagaimana ditulis di sebuah media nasional (11/1/2016).
Padahal, secara hitungan saja jika terjadi rongrongan semacam ancaman tindakan mogok kerja, maka potensi kerugian negara lebih dari Rp 15 miliar per hari bila kegiatan bongkar muat di salah satu anak perusahaan Pelindo II atau IPC tersebut lumpuh, beruntung aksi demo yang dilakukan SP JICT urung dilakukan karena pihak JICT meluluskan tuntutan para pendemo tersebut.
Rencana mogok karyawan Jakarta International Container Terminal (JICT) Selasa (12/1/2016) dibatalkan setelah manajemen perusahaan terminal petikemas tersebut mengabulkan semua tuntutan pekerja Selasa dini hari. Ketua Umum Serikat Pekerja Jakarta Internasional Container Terminal (SP.JICT), Nova Hakim kepada media mengatakan, setelah terjadi ketegangan, Selasa dini hari manajemen JICT akhirnya mau mengabulkan tuntutan karyawan.
Menanggapi aksi dan ancaman mogok itu, Dosen Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Saut Gurning menilai ulah yang dilakukan oleh Serikat Pekerja PT Jakarta International Container Terminal (SP JICT), bisa mengganggu perekonomian nasional.
“Respon dan tuntutan demo oleh SP JICT saya pikir malah menimbulkan kondisi yang merugikan ekonomi nasional. Aspirasi dan tuntutannya saya kira sudah didengar dan dipahami. Tetapi kalau diluar tuntutan itu hingga aksi mogok nasional saya kira justru tidak konsisten dengan idealisasi mencegah kerugian negara,” terang Saut Gurning kepada Okezone.com di Jakarta, Rabu (07/10/2015).
Selain itu, kata dia, aksi demo dan ancaman mogok nasional memberikan image negatif bagi pelayanan perdagangan luar negeri Indonesia.
Untuk diketahui, jauh sebelum demo dan ancaman mogok itu dilakukan, tuntutan SPJICT tersebut sesungguhnya sudah dijalankan oleh pemegang saham, baik Pelindo II dan HPH. Bahkan dari sekitar 800 pekerja di JICT, standar kesejahteraannya sangat tinggi, jauh diatas standar kesejahteraan yang diterima oleh pekerja pelabuhan lainnya.
Dalam aspek pendidikan misalnya, para pekerja JICT secara rutin terus mendapatkan pelatihan ke sejumlah port global yang berada dalam jaringan HPH. Ratusan pekerja JICT pernah menimba ilmu pengelolaan pelabuhan, termasuk alih teknologi yang dimiliki dan diterapkan oleh HPH di jaringan pelabuhannya di seluruh dunia.
Sementara itu, The National Maritime Institute (Namarin) menilai isu penolakan oleh SPJICT lebih pada kepentingan jangka pendek. Apalagi dari 4 tuntutan yang diminta dalam surat dukungan yang disusun oleh SPJICT pada 7 Oktober 2014, mayoritas berkaitan dengan urusan kesejahteraan karyawan.
“Semua tuntutan SPJICT dimensinya adalah uang dan kesejahteraan untuk mereka. Jadi tidak ada kaitannya dengan nasionalisme yang sekarang ini mereka hembuskan,” ujar Siswanto Rusdi, Direktur Namarin.
Maka, menyikapi munculnya Paket Kebijakan Ekonomi XI yang berfokus pada persoalan Dwelling Time, selayaknya juga diwaspadai ulah SP JICT yang bisa menjadi potensi penghambat kebijakan itu dengan berbagai alasannya.